Friday, May 31, 2013

PENGERTIAN KERJA KERAS DAN PERILAKU KERJA KERAS



PENTINGNYA BEKERJA KERAS UNTUK MENGGAPAI CITA-CITA



            Pepatah menyatakan “Raihlah cita-cita setinggi langit”. Hal ini tentu tidak mudah untuk meraihnya, tetapi kita butuh/perlu kemauan keras, tujuan yang jelas, dan kemampuan bekerja keras. Bekeja adalah berbuat untuk menghasilkan sesuatu. Hasil kerja kita itu diharapkan berguna bagi diri kita dan orang lain. Kita bekerja untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan hidup, kesejahteraan keluarga, masyarakat, dan Negara. Hasil kerja yang baik dari setiap warga Negara sangat menguntungkan Negara karena pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kita sering melihat para petani, nelayan, pedagang, dan buruh bekerja dari pagi hingga sore untuk memberi nafkah keluarganya. Para pelajar wajib belajar untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan agar menjadi orang yang mandiri. Sikap bermalas-malasan harus kita hindarkan jauh-jauh karena malas hari ini berarti penyesalan di kemudian hari.
            Cita-cita manusia bermacam-macam. Ada yang ingin menjadi dokter, insinyur, guru, ahli hokum, astronot, ulama, cendekiawan, seniman, wiraswastawan, TNI, Presiden, dan banyak lagi.

            Selama hidup, manusia harus mempunyai kemampuan dan cita-cita yang akan diraihnya. Cita-cita adalah tujuan yang jelas ingin kita kita capaidan wujudkan. Secara formal, tujuan nasional bangsa Indonesia dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berisi sebagai berikut:
1.      Melindungi segenap Bangsa
2.      Memajukan kesejahteraan umum
3.      Mencerdaskan kehidupan bangsa
4.      Melaksanakan ketertiban dunia

            Secara operasional, GBHN 1999 lebih merinci bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan Negara dan bangsa untuk mencapai tujuan Negara tersebut. Agar cita-cita tersebut tercapai, kita harus bekerja keras membangun bangsa ini dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Tanggung jawab pelaksanaan pembangunan harus dipikul oleh segenap pihak, yaitu Negara/pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia.

            Bagaimana kita bekerja keras untuk meraih cita-cita bangsa ini? Banyak hal yang bisa dilakukan. Hal paling utamanya dalam bekerja keras itu adalah dengan menerapkan sikap-sikap sebagai berikut:
1.      Ada kemauan keras dan pantang menyerah.
2.      Tujuan yang jelas sehingga akan menghindari perbuatan yang sia-sia.
3.      Sarana yang mendukung kita manfaatkan sebaik-baiknya.
4.      Mencurahkan segenap bakat dan kemampuan yang kita miliki.
5.      Percaya diri dan menyadari bahwa setiap manusia mempunyai kelebihan masing-masing.
6.      Ulet, tekun, rajin mencoba lagi sehingga belajar dari pengalaman.
7.      Belajar tanpa bosan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
8.      Selain berusaha, kita harus senantiasa berdoa agar terhindar dari sikap putus asa, beban mental, dan sebagainya. 
            Pentingnya bekerja keras ini tersirat dalam firman Allah surat al-Jumu’ah ayat 10 yang artinya:

 Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

            Selain itu, Allah juga berfirman dalam surat at-Taubah/9 ayat 105 yang artinya:

"Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

Semoga bermanfaat.

Tugas Translation 2



     Translated into English
1. Bintang kecil di langit yang biru (a)
Amat banyak menghias angkasa (b)
Aku ingin terbang dan menari (c)
Jauh tinggi ke tempat kau berada (b)

A little star in the great of blue sky (a)
So many stars beautify face of space (b)
I want to fly and dancing like a bird (c)
So high and high I want come to your safe place (b)

2. Banyak pihak para orang tua dewasa ini menghadapi kesulitan dalam memilih cara yang terbaik untuk mendidik putera-puteri mereka.

Many parents nowadays face the difficulty in choosing the best way to educate their children.

A.Homophone 5 pairs.            
1.See – Sea
2.Pear – Peer
3.Can – Can
4.Write – Right
5.Sun – Son

B.Minimal pairs 5 pairs.
1.Blue – Glue
2.Try – Cry
3.Wall – Ball
4.Far – Car
5.Dark – Bark

C.Homographic (al) 5 pairs.
1.Record – Record
2.Present – Present
3.Close – Close
4.Resume – Resume
5.Second – Second

D.Rhyming words.
1.Hit – Kit
2.Deer – Beer
3.Increase – Decrease
4.But – Cut
5.Sell – Tell

Friday, May 24, 2013

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Pendidikan dalam perspektif islam, pendidikan menurut agama islam, pendidikan dari sudut pandang islam, pendididkan dari pandangan islam, pendidikan dalam islam
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Disusun oleh
 kelompok 7 :
                      
Anang Tri Wahyudi                1110014000031
Dede Nurhayati                      1110014000007
Kartika Noor Aulia                 1110014000029
Khaerunnisa N.K                    1110014000035

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
 A. Pengertian Pendidikan Menurut Bahasa dan Sumber Ajaran Islam
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, (Poerwadarminta 1991), Pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan kata “me” sehingga menjadi “mendidik” artinya memelihara dan memberikan latihan.Dalam memelihara dan memberikan latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Adapun indikasi yang terdapat dalam Al Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain: menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, sebagai fitrah manusia, penggunaan kisah masa lalu untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan sosial masyarakat. Istilah pendidikan dapat ditemukan dalam Al Qur’an dengan istilah at tarbiyah, at ta’lim, dan at ta’dib.
1. Istilah al-Tarbiyah
Penggunaan istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Dalam penjelasan lain, kata al-tarbiyah berasal dari kata, yaitu Pertama, rabba-yarbu yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang (Q.S. Ar Ruum/30:39)Kedua, rabiya-yarba berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, dan memelihara.
Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam Q.S Al Fatihah 1:2 (alhamdu li Allahi rabb al-alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah al-Tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah Pendidik yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.
Penggunaan term al -Tarbiyahuntuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat dipahami dengan merujuk firman Allah :
Artinya:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. Al Israa’ 24).[1]


2. Istilah al-Ta’lim
Istilah al –Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal di banding dengan al-Tarbiyah maupun al-Ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Argumentasinya didasarkan dengan merujuk pada ayat ini:
Artinya:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Q.S. Al Baqarah 151)[2]

3. Istilah al –Ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam adalah al-ta’dib. Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi:
.تَأْدِيْبِيْ فَاَحْسَنَربِّيْ اَدَّبَنِيْ
Artinya: “Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku.”
(H.R. al-‘Askary dari r.a)
Kata addaba dalam hadis di atas dimaknai al-Attas sebagai “mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadis tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanam-Nya ke dalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan sehingga hal itu membimbingku ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta sebagai akibatnya – Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik.”
Berdasarkan batasan tersebut, maka al ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
B. Pengertian Pendidikan Menurut Para Filosofi
1. Al Ghazali
Menurut al-Ghazali, proses transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran Islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ila Allah. Oleh karena itu, pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat. Pemikirannya tentang tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi 3:
1.      Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah.
2.      Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlaq al karimah.
3.      Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
            Dengan ketiga tujuan ini diharapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah SWT.
b. Ibn Khaldun
            Menurut Khaldun, manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya, akan tetapi produk sejarah, lingkungan social, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu, lingkungan social merupakan pemegang tanggungjawab dan sekaligus memberikan corak perilaku seorang manusia. Hal ini memberikan arti, bahwa pendidikan menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.
            Pandangan Khaldun tentang pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris.Melalui pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurutnya, ada 3 tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
1.      Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu.
2.      Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman.
3.      Pembinaan pemikiran yang baik.
            Menurut Khaldun, seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan.
            Sementara pemikiran Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi 2 bagian, yaitu:
-          Ilmu pengetahuan syar’iyyah
-          Ilmu pengetahuan filosofis
            Ilmu pengetahuan syar’iyyah berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam.Ilmu ini diantaranya adalah tentang al Quran, Hadis, prinsip-prinsip syari’ah, fiqh, teologi, dan sufisme. Sedangkan ilmu pengetahuan filosofis meliputi: logika, ilmu pengetahuan alam (fisika), metafisika, dan matematika. Ilmu ini juga sering disebut sains alamiah.Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk menguasainya dengan baik.
            Ilmu pengetahuan syar’iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkannya. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.
  c. K.H. Ahmad Dahlan
            Menurut Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci bagi meningkatkan kemajuan umat Islam adalah dengan kembali pada Al Quran dan Hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
            Pelaksanaan pendidikan—menurut Dahlan—hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh.Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertical (Khaliq) maupun horizontal (makhluk).
            Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta, baik alam mikro maupun makro. Di dalam ayat Al Quran juga menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al Quran juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada realitas fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S. Ar Rad 13: 2), (Luqman 31:10), (Al Munafiqun 63:3). Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metafisika.Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
C. Konsepsi Pendidikan
            Pada uraian tentang pengertian dan tujuan ilmu pendidikan Islam tersebut di atas sesungguhnya telah tersirat adanya ruang lingkup Ilmu Pendidikan Islam. Namun untuk lebih jelasnya, ruang lingkup ilmu pendidikan Islam tersebut dapat dikemukakan sebagi berikut.
            Pertama, teori-teori dan konsep-konsep yang diperlukan bagi perumusan desain pendidikan Islam dengan berbagai aspeknya: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar dan sebagainya. Teori-teori dan konsep-konsep tersebut dibangun dari hasil kajian yang ilmiah dan mendalam terhadap sumber ajaran Islam yang terdapat dalam Al Quran dan Al-Sunnah, serta dari berbagai disiplin ilmu yang relevan: sejarah, filsafat, psikologi, sosiologi, budaya, politik, hukum, etika, manajemen, teknologi canggih, dan sebagainya.
           Kedua, teori dan konsep yang diperlukan untuk kepentingan praktik pendidikan, yaitu memengaruhi peserta didik agar mengalami perubahan, peningkatan, dan kemajuan, baik dari segi wawasan, keterampilan, mental spiritual, sikap, pola pikir, dan kepribadiannya. Berbagai komponen keterampilan terapan yang diperlukan dalam praktik pendidikan, berupa praktik pedagogis, didaktik, dan metodik didasarkan pada teori-teori dan konsep-konsep yang terdapat dalam ilmu Pendidikan Islam.

D. Tujuan  Penciptaan  Manusia dalam Al-Quran
Dalam A-Quran banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofi dari pembicaraannya. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagai makhluk Allah di muka bumi (Al Syaibani, 1973)[3]. Tujuan dan fungsi penciptaan manusia itu dapat diklasifikasikan kepada dua, yaitu sebagai khalifah atau pengganti Allah SWT untuk melaksanakn titah-Nya di muka bumi dan manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta ( Q.S. 2:30 )[4]. Salah satu implikasi terpenting dari khalifah manusia di muka bumi ini adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Manusia memiliki kemungkinan untuk hal ini di karenakan kepada dianugerahan Allah sebagi potensi. Berdasarkan inilah manusia dapat mengolah dan memanfaatkan alam ini untuk keperluan hidupnya. Karenanya, manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai khalifah Allah yang hanya tunduk kepada alam semesta. 


E. Tujuan Pendidikan Islam
Bila pendidikan kita pandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakekatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan. Jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak Islami (Arifin, 1987)[5]. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasikan idealitas Islami. Sedangkan idealitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai ideal Islami dapat kita kategorikan ke dalam 3 macam sebagai berikut:
1. Demensi yang mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia. Dimensi nilai kehidupan ini mendorong kegiatan manusia untuk menggelola dan memanfaatkan dunia ini agar menjadi bekal/sarana bagi kehidupan diakhirat.
2. Dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan akhirat yang membahagiakan. Dimensi ini menurut manusia untuk tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki, namun kemelaratan atau kemiskinan dunia harus diberantas, sebab kemelaratan duniawi bisa jadi ancaman dan menjerumuskan manusia kepada kekufuran.
3. Dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan (mengintegrasikan) antara kepentingan hidup duniawi  dan ukhrawi. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangaan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, kultur, ekonomis, maupun ideologsis dalam hidup pribadi manusia.
Pendidikan Islam bertugas mempertahankan, menanamkan dan mengembangkan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai Islam yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Al-Hadist. Sejalan denggan tuntutan kemajuan atau modernisasi kehidupan masyarakat  akibat pengaruh kebudayaan yang meningkat, pendidikan Islam memberikan kelentuuran(fleksibilitas) perkembangan nilai-nilai dalam ruang lingkup konfigurasinya. Adapun nilai islami yang seharusnya dikembangkan-tumbuhkan dalam pribadi anak didik melalui proses kependidikan adalah berwatak fleksible dan dinamis dalam konfigurasi normatif yang tak berubah sepanjang masa. Dengan demikian, Pendidikan Islam bertugas disamping menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai Islami juga mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai- nilai itu secara dinamis dan fleksible dalam batas-batas konfigurasi idealitas wahyu tugas.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik) serta menyeluruh dan menyeimbangkan yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan  seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.
Berdasarkan rumusan diatas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta  didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik  sebagi muslim paripurna (Insan kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan harmonis, baik dunia maupun akhirat.
 F. Kaitan Penciptaan Manusia dan Tujuan Pendidikan dalam Islam
Tujuan pendidikan tampaknya didasarkan pada salah satu sifat dasar yang terdapat dalam diri manusia, yakni sifat dasar yang cenderung menjadi orang baik, yakni kecenderungan untuk melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, disamping itu kecenderungan untuk menjadi orang yang jahat.
Kecenderungan menjadi orang baik ini selanjutnya menjadi kecenderungan beragama yang merupakan salah satu fitrah manusia. Hadist Rasulullah SAW misalnya mengisyaratkan:
“Tiap orang dilahirkan membawa fitrah; ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (H.R Bukhari dan Muslim)[6].
Berkenaan dengan kecenderungan kepada berbuat baik tersebut, maka pendidikan Islam memiliki tanggung jawab mengupayakan agar membimbing manusia untuk senantiasa mewujudkan kecenderungan baiknya dalam menghindari dari mengikuti kecendrungan yang buruk. Dalam hal ini As-Syaibani mengatakan bahwa manusia itu berkecendrungan beriman pada kekuasaan tertinggi dan paling unggul menguasai jagad raya ini. Kecendrungan ini dibawanya sejak lahir . Jadi, manusia itu ingin beragama. Keinginan itu meningkat mengikuti peningkatan taraf pemikiran dan akalnya yang pada akhirnya mengakui bahwa Tuhan itu ada.
            Pendidikan Islam harus mampu menciptakan manusia muslim yang berilmu pengetahuan tinggi, dimana iman dan taqwanya menjadi pengendali dalam penerapan atau pengalamannya dalam masyarakat manusia. Bilamana tidak demikian, maka derajat dan martabat diri pribadinya selaku hamba Allah akann merosot, bahkan akan membahayakan umat manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia sebagai produk atau hasil dari proses kependidikan Islam mampu mencari cara-cara hidup yang membawa kesejahteraan duniawi dan ukhrawi sebagai yang dikehendaki oleh Allah.
            Manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan cara hidup yang mensejahterakan diri dan masyarakatnya, adalah manusia yang didalam dirinya tidak bersinar iman dan taqwa, sehingga menderita kegelapan jiwa yang tak kunjung usai.
G. Tujuan Pendidikan
Tujuan  pendidikan Islam berbeda dari tujuan pendidikan umum yang didasarkan pada filsafat pendidikan produk pemikiran spekulatif dari nalar manusia. Kohn Stamm misalnya menggariskan bahwa tujuan pendidikan adalah membimbing anak mencapai tingkat kedewasaan rohani dan jasmani (Crijn dan Rekso Siswojo, 1954)[7]. Sedangkan Langeveld menyatakan bahwa tujuan pendidikan agar anak terbentuk kata hatinya (Crijn dan Rekso Siswojo, 1954)[8].
Di lain pihak, dalam kaitannya dengan pandangan hidup suatu Negara, maka tujuan pendidikan erat hubungannya dengan kepentingan Negara masing-masing. Negara yang menganut paham demokrasi seperti Amerika, tujuan pendidikan diarahkan untuk membentuk negara yang demokratis. Demikian pula penganut paham Marxisme, tujuan pendidikannya disesuaikan dengan system pendidikan komunisme ( Hasan Langgulung, 1986)[9].
Pendidikan Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan hadits sebagai dasar pemikiran dalam membina system pendidikan bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keyakian semata. Lebih jauh kebenaran itu juga sejalan dengan kebenaran yang dapat diterima oleh nalar dan bukti sejarah. Adapun tujuan pendidikan Islam yang sejalan dengan tujuan misi Islam itu sendiri, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah (Al Syaibany, 1979)[10]. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam dinilai sebagai factor kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang menurut pandangan Islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera di dunia dan kehidupan akhirat.
H.  Analisa Manusia Utama
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany (al-Syaibany, 1973)[11] mengemukakan prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan terhadap manusia memuat pikiran bahwa :
ü  Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia sesuai dengan hakikat kejadiannya.
ü  Manusia diberi beban amanat sebagai khalifah (mandataris) Allah di bumi guna memakmurkannya.
ü  Manusia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, kemampuan belajar serta kemampuan untuk mengembangkan diri.
ü  Manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi jasmani, rohani, danroh (tidak sama dengan roh atau jiwa).
ü  Manusia bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi genetika (faktor keturunan) dan lingkungan yang mempengaruhinya.
ü  Manusia memiliki factor perbedaan individu.
ü  Manusia memiliki sifat fleksibilitas (keluwesan) dan memiliki kemampuan untuk mengubah serta mengembangkan diri.
I. Tujuan Hidup Seorang Muslim
Setiap muslim memiliki cita-cita yang terangkum dalam Al Qur’an “Ya Allah Tuhan kami, berikanlah kami kesejahteraan hidup di dunia dan kesejahteraan hidup di akhirat,” (Q.S 2: 201). Tujuan akhir ini hanya akan mungkin dicapai setelah tahap sebelumnya dapat diterapkan, yaitu menempatkan manusia dalam kehidupannya sebagai pengabdi Allah yang setia (Q.S. 51: 56), melalui tahap penempatan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi (Q.S.2: 30) sesuai dengan fitrah kejadiannya.


Kesimpulan
            Menurut Kamus Bahasa Indonesia, (Poerwadarminta 1991), Pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan kata “me” sehingga menjadi “mendidik” artinya memelihara dan memberikan latihan. Adapun indikasi yang terdapat dalam Al Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain: menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, sebagai fitrah manusia, penggunaan kisah masa lalu untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan sosial masyarakat. Istilah pendidikan dapat ditemukan dalam Al Qur’an dengan istilah at tarbiyah, at ta’lim, dan at ta’dib.
            Tujuan dan fungsi penciptaan manusia itu dapat diklasifikasikan kepada dua, yaitu sebagai khalifah atau pengganti Allah SWT untuk melaksanakn titah-Nya di muka bumi dan manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta ( Q.S. 2:30 ) . Salah satu implikasi terpenting dari khalifah manusia di muka bumi ini adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Manusia memiliki kemungkinan untuk hal ini di karenakan kepada dianugerahan Allah sebagi potensi. Berdasarkan inilah manusia dapat mengolah dan memanfaatkan alam ini untuk keperluan hidupnya. Karenanya, manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai khalifah Allah yang hanya tunduk kepada alam semesta.
Daftar Pustaka
Al Rasyidin, dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta,1991
Surin, Bachtiar, Adz Dzikraa (terjemah dan tafsir al Quran), Bandung: Angkasa Bandung, 1991
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1987
Jalaluddin, dan Usman Syai’d, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta


[1] Al Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Lubuk Agung), hlm 243
[2] Al Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Lubuk Agung), hlm 38
[3]  DrJalaluddin & Drs.Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam hal. 86

[4] Q.S. Al- Baqarah ayat 3O
[5] Arifin M, Filsafat Pendidikan Islam hal.119
[6] Ibid hal 120
[7] DrJalaluddin & Drs.Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam
[8] ibid
[9] ibid
[10] ibid
[11] ibid